Picture from here
Analoginya seperti ini.
Pertama kali kamu melihat seorang pilot dan ada sesuatu pada figur itu yang menarik perhatianmu. Entah apa, tapi sejak detik itu, salah satu impianmu adalah menjadi pilot. Terbang menembus awan, melihat pemandangan dari ketinggian, semuanya! Beranjak dewasa, kamu memiliki impian lain, yang lebih besar dan lebih menarik, tapi menjadi pilot tetap adalah sesuatu yang selalu kamu dambakan.
Lalu kamu tahu bahwa salah satu syarat untuk menjadi pilot adalah tidak boleh buta warna. Kamu tahu ada sesuatu yang berbeda pada dirimu tapi kamu tidak pernah tahu bahwa itu akan menjadi masalah. Sekian tahun kamu masih menyimpan impian itu dalam hati, tidak secara terang terangan lagi karena jauh di dalam hatimu, kamu tahu bahwa kemungkinannya kecil. Tapi, tidak ada yang salah untuk bermimpi bukan?
Teman temanmu berkata, tinggalkan impian itu. Carilah impian baru. Carilah yang memang sesuai untuk dirimu, bukan yang tidak bisa kamu raih.
Dan tetap dalam diam, kamu masih menyisipkan mimpi itu dalam doa.
Hingga surat resmi itu keluar. Surat resmi yang menyatakan keadaanmu, yang bertolak belakang dengan ketentuan untuk menjadi pilot. Impianmu sejak kecil, imajinasi di siang bolong, hal kecil yang membuatmu tersenyum saat membayangkannya, kata kata singkat yang terselip di setiap doamu; semuanya dihapuskan dengan kata kata: tidak mungkin.
Kamu pernah berjanji bahwa akan menyerah ketika ada kata kata resmi itu. Dan sekarang sudah ada. Tidak ada alasan lagi untuk berjuang.
Itu analoginya.
That’s how I feel about you now.