passion vs prestige

“passion’s biggest enemy is prestige”

ini yang saya rasakan selama kira kira satu bulan ini. dan akan saya coba tuliskan spesial untuk teman teman yang baru diwisuda dari ITB.

beberapa waktu lalu saya mengambil suatu tanggung jawab dengan satu alasan, gengsi. 3 tahun belajar hal hal beginian, masa saya gak bisa sih. Saya tahu bahwa bidang ini bukan bidang yang saya sukai, bahkan justru yang saya hindari. Akhirnya saya ambil tanggung jawab ini dengan berkata dalam hati: “malu ih kalo gak bisa”

perlahan lahan, muncul rasa berat saat mengerjakannya. Ada perasaan kesal ketika pekerjaan ini harus lebih menjadi prioritas dibandingkan kegiatan menulis rutin saya. Muncul perasaan bersalah ketika hecticnya pekerjaan ini merusak konsentrasi saya untuk majalah. bukan karena sulit, tapi karena saya tidak menemukan kesenangan saat mengerjakannya.

suasananya berbeda ketika saya bekerja untuk si majalah atau si website. ada rasa tak sabar, ada rasa rindu, ada rasa berdebar. saya suka perasaan ini. saya ingin seterusnya menikmati pekerjaan dengan perasaan seperti ini.

hingga di titik ini, saya gak peduli gengsi lagi kalau bilang “iya, passion saya bukan di bidang yang saya pelajari 3 tahun ini. passion saya ada di tempat lain. saya gak tahu ke depannya kaya apa, tapi saya pun akan berusaha sekuat mungkin untuk bisa sukses di jalan ini”

ketika di jobfair kemarin, muncul pertanyaan: kok gak daftar perusahaan migas kaya yang lain? atau bank mungkin?

jawaban saya bukan dengan embel embel idealisme yang terlalu kuat atau apa, bukan. hanya saja saya gak yakin bisa bangun pagi setiap hari dan merasa bahagia untuk bekerja bila ada di tempat tempat tersebut. saya gak peduli bahwa tempat tersebut mungkin punya gengsi dan gaji lebih tinggi. saya tetap angkat topi untuk teman teman yang tahan untuk bekerja dalam tekanan sebesar di tempat tempat tersebut. kalian luar biasa.

tapi saya lebih senang di sini.

ya, kalau keluarga atau teman tanya, mungkin sulit juga menjelaskannya kerja apa di mana. ya, mungkin hasil jerih payahnya gak bisa buat makan makan cantik, beli baju, nonton konser, atau gadget baru. tapi ini awal. nantinya pasti bisa di jalan yang lebih besar dan hasilnya bisa buat leha leha di pantai negara mana gitu kok hehehe.

mengutip kata salah satu teman saya yang inspiring banget, Adiska Fardani, begini: “bukan bisa atau gak bisa. Tapi mau atau gak mau, suka atau gak suka”

kita bisa mencapai apapun yang kita impikan kok, asal kita mau. tapi kalau kita melakukan suatu hal, walaupun kita bisa tapi kita gak suka, gak akan ada hasilnya juga.

untuk hal ini, kita gak perlu ikut arus. dari pengalaman di atas, saya merasa bahwa gak ada tuh pilih jalan karir cuma berdasarkan gengsi. hal kecil pun kalau dijalani dengan serius pasti jadi besar dan bikin gengsi tersendiri kok.

sekali lagi, selamat untuk teman temanku yang baru saja di wisuda. jalan baru dengan banyak cabang membentang di depan kalian. tinggal tentukan, mau pilih jalan berdasarkan passion atau prestige?

Cita Cita dan Pekerjaan

Dulu cita cita saya mau jadi apa ya?

Gara gara kultwitnya masukitb dan membaca respon si anak anak SMA ini. Ada yang makin yakin jadi rajin belajar, ada yang galau karena mau ini mau itu, ada yang jadi jiper. Trus saya berpikir, kalau dulu waktu saya SMA sumber informasi sudah seperti ini, sekarang saya masih akan kuliah di Teknik Lingkungan gak ya? Atau mungkin saya akan udah keburu gak berani dulu untuk kuliah di ITB?

Dulu saya mau jadi apa sih?

Setelah melewati fase semua-orang-mau-jadi-dokter, tampaknya cita cita saya yang paling lama adalah untuk jadi penulis. Sejak puisi pertama saya yang judulnya “Telepon” (anjir itu lame banget lho), rasanya saya tidak pernah berhenti menulis. Buku harian, mading SMP, lomba puisi kawanku, karangan bahasa inggris, buku rohani, esai dengan berbagai topik, sampai blog ini.

Iya, dari dulu saya ingin jadi penulis.

Yah tapi juga namanya anak muda (gaya :p) masih labil, pemalas, pesimistis, dan ingin mengalir seperti air; saya bukan kuliah sastra atau jurnalistik. Dulu saya tidak melihat minat sebagai aset berharga dan cita cita sebagai suatu hal yang harus dikejar. Sama seperti anak anak SMA sekarang, yang dilihat itu prospek kerja. Dan pemikiran pemalas saya saat itu bilang “yaudah ikutin aja yang diarahin, ntar juga ketemu sendiri harusnya kemana”

Tapi yang namanya cinta itu gak bisa dibohongi kan?

Saya tidak pernah berhenti menulis. Baik itu cerita saya sendiri, cerita orang lain, yang kira kira disuka orang, serta mimpi mimpi khayal saya sendiri. Lalu saya kuliah. Bertemu suatu tempat luar biasa namanya radio. Saya siaran, didengar orang, saya senang. Saya menonton TV, terpana akan bagaimana opini bisa digerakkan secara massal. Lalu muncul suatu media yang dibatasi 140 karakter, twitter namanya. Dibatasi seperti itu pun suara saya masih terdengar.

Yang saya suka lebih dari menulis. Saya suka jadi perantara. Saya suka menyebarkan. Saya suka mencari. Saya suka didengarkan.

Saya tidak pernah bermimpi tinggi tapi tadi siang saya menerima sebuah email. Dia follower masukitb angkatan 2012 yang sempat kebingungan karena tidak mampu membayar uang masuk dan tidak tahu bahwa ada subsidi. Dia diterima namun tidak mampu bayar. Beberapa bulan lalu, saya (sebagai admin) memberi saran untuk menghubungi pihak rektorat, memberi nomer telepon dan alamat. Semua saya lakukan lewat email.

Di email yang saya terima tadi siang, dia menulis

Min, makasih ya. Saya bisa kuliah di ITB gratis

Saya, di bawah payung bernama media, bisa berguna untuk orang lain. Perasaan itu priceless banget, gak terbayarkan sama gaji berapa pun. Jadi terpikir kan, gila gimana kalo bisa berefek untuk lebih banyak orang lagi? Sedikit banyak beberapa bulan ini pola pikir saya akan ‘pekerjaan’ jadi makin berputar putar. Saya yakin semua pekerjaan pasti ada efeknya untuk orang lain. Tapi apakah kita memilih (atau menciptakan) pekerjaan itu sudah dengan mindset ‘untuk orang lain’?

Nanti saya kerja jadi apa ya?

Nanti saya kerja dimana ya?

Di usia 22 tahun ini saya jadi terpikirkan akan pertanyaan itu karena mau tak mau, sekarang pertanyaan saat saya SD muncul lagi di kepala saya. Cita cita saya mau jadi apa ya?

Berbeda? Siapa takut!

Ti, nikah beda agama itu mungkin gak sih?

Satu pertanyaan random dari seorang teman di suatu sore, entah kapan itu. Random karena kenapa tau tau nanya ke saya dan gak ada bridging sebelumnya gitu lho. Bahasa lainnya, tanpa basa basi.

Sudah lama juga saya sebenarnya ingin menulis tentang ini namun belum ada dorongan yang segimananya. Lalu kemarin saya membaca tweet seorang tokoh yang bilang bahwa sorenya ada diskusi tentang nikah beda agama di Common Room, Bandung. Ah, kata saya dalam hati. Coba saya baca lebih dulu, pasti saya mengusahakan hadir. Lalu saya membuka timeline  @KusumadewiDifa yang membahas hasil diskusi sore itu.

Ternyata konten diskusinya tidak jauh dari apa yang pernah saya baca dan saya tahu. Buku yang saya baca adalah ‘Kado Cinta bagi Pasangan Nikah Beda Agama’

null

Mungkin ada teman yang bertanya tanya “gilaaa tiara bacaannya udah begituan. udah siap nikah ya ti? udah ada calonnya?” Hahaha, saya jawab pake ketawa aja ya. Belum, belum kok. Buku ini adalah koleksi ibu saya.

Ya, saya berasal dari keluarga beda agama. Dan setelah dilihat lihat lagi, keluarga besar saya pun sangat beragam karena banyaknya pasangan nikah beda agama di dalamnya. That’s why obrolan tentang nikah beda agama menjadi sering dilakukan dan saya pun mendapat pasokan bacaan sejenis ini. Apakah kemudian saya diarahkan untuk menjalani nikah beda agama? Tidak, bukan begitu. Hanya saya dan rasa keingintahuan saya yang berlebih yang membuat saya banyak baca dan mencari tahu sendiri. Orang tua menjelaskan keadaan, kelebihan, kekurangannya namun tidak menyarankan. Mereka hanya berusaha membuat kami open minded.

Buku itu menjelaskan tentang pandangan agama agama yang dianggap sah di Indonesia tentang nikah beda agama itu sendiri. Juga menceritakan kisah beberapa pasangan nikah beda agama dan juga cerita bagaimana mereka menikah secara legal dan tidak berganti agama dan tetap menjalankan hidup mereka seperti biasa.

Kembali ke pertanyaan teman saya di atas. Mungkin gak sih? Jawabannya: mungkin. Dari segi cara dan legalitas, nikah beda agama masih bisa dilakukan dengan prosedural yang memang lebih rumit daripada nikah biasa. Mbak @KusumadewiDifa menjelaskan tentang beberapa alternatif caranya yang akan saya coba bagi di sini:

  1. Menikah di luar negeri, kemudian mengurus surat surat pengesahan di dalam negeri
  2. Menikah dengan keputusan pengadilan, cara yang cukup rumit, lama dan mahal
  3. Menikah secara sipil tanpa melalui penghulu dari KUA.
  4. Menikah dengan 2 cara keagamaan & dilanjutkan dengan pencatatan sipil

Detilnya alternatif di atas saya kurang paham, namun saya hanya mau menegaskan bahwa secara legalitas, nikah beda agama bukan tidak mungkin.

Tetapi mungkin tantangan terbesar bukan dari cara ya, tapi dari masyarakat, keluarga, dan tentunya diri sendiri. Itulah yang menjadi variabel untuk menjawab pertanyaan teman saya itu, mungkin atau tidak.

Pandangan yang ada di masyarakat umumnya adalah pernikahan beda agama lebih banyak membawa kesulitan. Faktor perbedaan itu akan merembet pada ketakutan salah satunya berpindah agama, perbedaan pemahaman, kebingungan cara memberikan pendidikan agama pada anak nantinya, dan lain lain. Bukan hanya pada masyarakat, keluarga, dan bahkan pribadi masing masing pun pasti ada pemikiran seperti itu.

Saya mencoba sharing pemikiran saya. Bagi saya, Tuhan itu satu dan agama yang berbeda beda adalah cara kita masing masing untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Oleh karena itu, saya merasa tidak ada kekhawatiran berpindah agama bila menikah beda agama karena saya yakin dengan cara saya berkomunikasi dengan Tuhan. Saya tidak takut akan perbedaan pemahaman karena Tuhan kita sama kok, berarti dasar dasar ajaran hidup yang diberikan sama toh. Saya tidak khawatir anak saya nantinya akan beragama apa, karena seorang anak memilih agama bukan berdasarkan turunan agama orang tuanya melainkan dari cara berkomunikasi dengan Tuhan yang paling cocok dengan dia.

Huwaaaah, lega rasanya menuliskan itu semua. Hahaha.

Kembali lagi ke pertanyaan teman saya, mungkin atau tidak itu lagi lagi kembali ke tiap persona. Saya mungkin memiliki pemikiran seperti itu tetapi mungkin tidak dengan mantan pacar saya and that’s why we didn’t work out. Kedua orang tua saya untungnya memiliki pemikiran yang sejalan tentang hal ini sehingga bisa bertahan 26 tahun dan masih berjalan. Beberapa pasangan yang berbagi cerita di buku itu bisa menjalaninya, namun juga banyak cerita lika liku mereka yang mengusahakan namun gagal. Teman teman saya pun bervariasi pemikirannya tentang hal ini.

Yang ingin saya tekankan di sini adalah, ketika anda merasa bahwa nikah beda agama adalah jalan anda, jangan biarkan negara dan masyarakat menghalangi cinta anda. Ada aja kok caranya bila anda memang mau. Namun ketika anda tidak bisa, bukan berarti teman anda tidak bisa juga. Ketika anda percaya bisa namun pasangan tidak yakin, pikirkanlah lagi. Saya pernah di posisi itu dan itu bukan pengalaman yang menyenangkan.

Mengutip mbak @KusumadewiDifa,

Untuk saya pribadi, negara bukan biro jodoh yg mengatur kepada siapa kita boleh mencintai

Jangan Batasi Mimpi

Untuk adik adik kelas XII yang mau mendaftar ke PTN, mengapa kalian bingung sekali?

Sibuk meributkan kuota tiap jurusan, persentase yang diterima, piagam penghargaan ini diterima atau tidak, nilai segini masuk atau tidak. Hingga tampaknya kalian melupakan esensi sebenarnya dari tujuan mengejar pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Hingga kalian kiranya meninggalkan mimpi kalian sebenarnya untuk diri dan keluarga kalian.

Ketika kalian paham alasan kenapa kalian ingin kuliah, tahu alasan mengapa kalian ingin masuk suatu PTN, tahu alasan mengapa kalian memilih satu jurusan/fakultas, alasan teknis perintilan kecil kecil hingga alasan biaya tidak akan jadi masalah. Ketika kalian sudah memantapkan hati untuk terus berusaha demi jurusan impian kalian, apapun halangannya akan kalian hadapi dengan kepala dingin dan keyakinan tinggi. Itu adalah tanda kalian sudah pantas masuk ke perguruan tinggi.

Saat kalian kuliah nanti, tidak ada yang melihat apakah kalian anak aksel atau RSBI atau akreditasi A atau SMK atau lulusan tahun sebelumnya. Tidak ada yang bertanya, apakah nilai kalian di semester 3-5 konsisten atau tidak. Tidak ada yang menaruh perhatian lebih pada piagam kalian apakah finalis atau juara.

Jadi, tenang saja ya.

Sedikit berbagi pengalaman, saat saya mau masuk ITB, informasi tentang ITB saya dapatkan dari surat kabar, website resmi ITB, dan pameran pendidikan di beberapa sekolah. Formulir saat itu masih berupa kertas (bukan online), dan saya dapatkan dari kakak saya yang kuliah di ITB. Saat itu belum ada akun twitter, grup facebook, website jaringan pertemanan, dan bantuan bantuan lain seperti sekarang. Namun saat itu saya merasa info yang saya dapat cukup karena berasal dari sumber yang resmi dan saya selalu update.

Beruntunglah kalian, terutama 2012, yang dibanjiri akses informasi seperti sekarang ini.

Yang perlu kalian lakukan adalah belajar lebih keras dengan menggantungkan mimpi kalian di depan mata.

Bukan terus menerus mengeluh karena sistem yang tidak sesuai dengan keinginan kalian, membanding bandingkan nilai dan kemudian pesimis, memandang nanar jumlah kuota lalu merasa kesempatan terlalu kecil. Saya dulu tidak pernah tahu jumlah peminat, jumlah kuota, nilai berapa yang diinginkan jurusan tertentu, passing grade, dll. Tapi buktinya bisa selamat sampai sekarang.

Kesempatan kalian tidak akan hilang karena kuota berkurang. Kesempatan kalian tidak akan berkurang ketika jumlah peminat yang tampaknya banyak sekali. Kesempatan kalian tidak akan berkurang saat kelihatannya peminat fakultas itu nilainya tinggi tinggi.

Kesempatan kalian akan hilang ketika kalian tidak percaya pada diri sendiri, ketika kalian lengah, ketika kalian tidak berusaha, dan ketika kalian tidak menyerahkan semuanya ke tangan Tuhan YME.

Good luck!

 

Pacaran Itu Mahal

Eh jadi ceritanya begini.

Sebagai perempuan, saya selalu dinasehati begini kalo masalah jodoh: “cari tuh yang baik bibit bebet bobot. Bukan cuma pribadinya yang baik, tapi keluarganya juga. Cari yang mapan. Yang udah punya pekerjaan tetap, masa depan jelas”

Ya kira kira seperti itulah ya. Nasehat itu bukan cuma datang dari orang tua tapi juga dari bude, pakde, teman, TV, novel, semacam itulah.

Intinya mindset saya dan sebagian besar teman teman saya yang saya tanyakan ya seperti itu.

Oh tentunya saya tidak egois. Seperti yang sudah saya tulis di sini, perempuan yang mengatakan ‘siap’ jadi pendamping hidup harusnya siap akan hal hal yang saya tulis itu.

Pemahaman saya itu berbenturan dengan opini beberapa teman (mostly laki laki). Katanya begini: gw mau cari pacar dari sekarang ti (dari kuliah maksudnya). Jadi dia udah ada dari masa perintisan gw mencapai sukses. Sama sama udah ngejalanin susahnya bareng bareng jadi nikmatinnya juga barengan.

Uuuuh unyu banget sih (itu kalimat pertama yang saya bilang ke temen saya)

Well, that makes sense. Pasangan yang baik memang seharusnya melalui suka duka bersama, bukan mau terima enaknya doang di akhir.

Norma sosial sudah berkata. Tugas kaum laki laki untuk mempersiapkan keluarga dari segi kemapanan, tugas kaum perempuan untuk mempersiapkan dari sisi emosional. Prakteknya ya gak harus plek gitu ya tapi kalau menurut saya ya itu normalnya. Beruntunglah kalian yang bisa mempersiapkan diri bersama sama dengan pasangan. Tapi menurut saya wajar saja ketika kita mencari pasangan yang (istilahnya) sudah ‘siap jadi’

Tentunya pola pikir kita akan berubah seiring dengan waktu. Kriteria pasangan yang menurut saya sekarang cocok, belum tentu nanti bisa bertahan bila dibenturkan dengan realita (bukan cuma perasaan). Kenapa judul postingan ini “Pacaran itu Mahal”? Karena ketika status pacaran itu sudah dibenturkan pada realita, pasti berasa mahalnya deh.

Nyari pasangan, mending yang udah punya tabungan masa depan. Mau nikah, ngeluarin duit banyaknya minta ampun. Pacaran LDR, berat di ongkos. Pasangan ngambek, hadiahnya makin besar digit angkanya makin bagus. Anniversary, bingung nyari hadiah. Bahkan untuk ngajak pasangan jalan aja, biaya parkir mall sekarang udah naik jadi Rp 5000/jam!!

Hmm intinya sih ya Pacaran itu Mahal. Mau pacaran cuma iseng iseng doang atau pacaran serius ke jenjang berikutnya. Ada beberapa cara sih biar pacaran gak berasa mahal. Pertama, punya penghasilan dulu baru pacaran. Kedua, keluarga lo mungkin udah kaya raya.

Atau ketiga. Perasaan lo ke pasangan udah mengalahkan segalanya. Jadi apapun gak berasa mahal deh! :p